Pengalaman Pahit dengan suatu RS

Kejadian ini terjadi awal bulan Mei 2009. Berawal dari istri saya kambuh asmanya, semalaman mutah terus akhirnya pagi sblm subuh saya rujuk ke suatu RS. Setelah mendapat penanganan di UGD, disarankan mondok dulu karena kondisi tubuh yg masih lemah. Setelah memilih kamar, istri diinfus dan bedrest. Kemudian dilakukan pengobatan baik injeksi maupun “pengasapan”.

Pengalaman pahit yang pertama, terjadi waktu sore hari jam 15.30 ketika harus injeksi obat, pada saat yang sama istri saya pas jatah menyusui anak yang kedua, kemudian saya m

inta ke pada perawatnya untuk memberi waktu dulu istri menyusui, saya bilang “maksimal 5 menit”. Meksi kelihatan kurang setuju, perawat tersebut bilang ” baik pak saya tak ke kamar yang lain dulu”. Setelah selesai menyusui dan anak saya bawa pulang, saya kembali lagi ke RS untuk menunggu istri sekaligus saya tanyakan apakah perawat tadi sudah jadi injeksi obat, dijawab “belum” oleh istri. Saya tunggu sampai jam 5 sore perawat tersebut juga belum balik, malah datang perawat yang lain untuk melakukan “pengasapan” yang terakhir sebelum istri diperbolehkan pulang (Saya sebelumnya minta ke dokter untuk dilanjutkan rawat jalan, mengingat istri masih menyusui anak). Ke pada perawat yg jam 5 saya tanyakan, kejadian sebelumnya, oleh perawat tersebut dijawab ” baik pak, coba saya cek dulu”. Setelah melakukan cek ke ruang administrasi, perawat tersebut menjawab bahwa tadi jam 15.30 sudah dilakukan injeksi karena di buku kontrol sudah dilingkari, seraya menambahkan “mungkin waktu itu istri sedang tidur pak”. Saya sangkal, bahwa tadi sore memang belum dilakukan injeksi, sekaligus saya minta dipertemukan perawat yang bertugas waktu itu, tetapi mendapat jawaban sedang waktu istirahat. Akhirnya saya biarkan dan kosentrasi persiapan untuk pulang (meski masih ada ganjalan dihati).

Pengalaman pahit yang kedua ketikan harus membayar biaya perawatan dan obat rawat jalan, Untuk obat rawat jalan dikasih Opicef 500mg, Pyrazinamide 500mg, obat asma racikan dan Sirup untuk lambung. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk menanyakan setiap obat yang diberikan kepada perawat (karena kami punya kebiasaan kalau obat yang tidak harus habis-non antibiotik- biasanya kalau keluhan sudah hilang tidak diminum). Untuk Opicef dan Pza dikatakan antibiotik, meski tidak dirinci untuk apa. Akhirnya kami pulang pada waktu bada maghrib, sampai dirumah diskusi dengan istri untuk antibiotik akan diminum atau tidak (pertimbangan masih menyusui) karena harus habis. Istri sudah mantab untuk diminum meski masih ada ganjalan tidak biasanya antibiotik sampai dua macam. Dua hari berikutnya ketika di kantor (karena masih penasaran tentang obat tsb) saya cari info mengenai kedua obat tersebut opicef & Pza, alangkah kagetnya ketika mengetahui ternyata Pza adalah antibiotik untuk TBC, saya jadi timbul tanda tanya besar apakah istri kena TBC padahal selama ini dokter juga tidak bilang apa2x. Kemudia saya tanyakan ke dokter kenalan melalui sms, jawabanya sama bahwa Pza itu antibiotik untuk TBC. Saya semakin gelisah, karena dokter yang merawat saya adalah seorang spesialis paru mosok salah memberikan resep. Akhirnya sore setelah pulang dari kantor saya cek slip keuangan dari RS, dan meneliti cataan obat-obat yang digunakan ternyata TIDAK ADA yang namanya Pza, malah ada di catatan Ratinidin padahal saya tidak dikasih obat tersebut. Langsung saya ke RS dengan membawa slip pembayaran dan obat2x yang diberikan. Singkat cerita saya langsung dipertemukan dengan apotekernya, dan dia mengakui bahwa terjadi kesalahan dalam memberikan obat (Padahal sudah diminum 4 tablet), Marah dan sekaligus lega saya. Marah karena istri saya harus meminum obat yang tidak perlu ditambah lagi obat tersebut punya efek ke bayi yg disusui. Lega karena istri saya tidak kena TBC. Setelah beberapa saat berdebat, akhirnya saya memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah ini ke pihak pimpinan RS dengan pertimbangan, apoteker tersebut jujur mengakui kesalahan dan minta maaf. Dan dia juga mau membuat surat pernyataan bahwa telah melakuakan kesalahan dan siap bertanggungjawab apabila dikemudian hari ada efek samping yang terjadi akibat kelalaiannya.

Hikmah yg saya ambil :

  • Ketika sesuatu itu sudah terjadi, berarti memang Allah telah mentakdirkan, tinggal kami berdua istighfar dan instropeksi diri. Yakin bahwa semua ini kehendak Allah dan dan qusnudhon kepada Allah mengenai cobaan ini.
  • Kedepan harus lebih hati2x memilih RS dan teliti terhadap obat2x yang diberikan
  • Mendisiplinkan pola hidup sehat supaya tidak berurusan dengan RS lagi